Dissolving into the
elsewhere Mimicry and ambivalence in Marah Roesli’s ‘Sitti Noerbaja’
Loyal Mimicry adalah sesuatu kegiatan yang benar-benar meniru keseluruhan hal dari
penjajah. Tetapi di sisi lain terdapat proses meniru yang dapat menghancurkan
budaya penjajah itu sendiri. Maksud disini ialah semua hal dari segi opini,
moral, meniru kolonial tetapi bukan maksud meniru secara utuh tetapi justru
untuk dihancurkan. Jadi dapat disimpulkan meniru bisa menjadi suatu hal berbeda
tergantung subjeknya.
Menurut Bhabha, mimicry
atau meniru adalah semacam tiruan pada lingkungan penjajah dari sudut pandang
subjektif orang Eropa yang tidak lagi murni. Bagi kedua pihak, baik itu
penjajah maupun yang dijajah, kegiatan peniruan ini merupakan hasil dari
ambiguitas dan hasil dari sesuatu hal yang bertentangan.
Kemudian pada Novel Siti
Noerbaja ingin melihat apakah novel ini menerima peniruan atau Loyal mimicry atau malah menjadi pihak yang menghancurkan sifat
peniruan yang asli itu. Bhabha mengatakan ketika seseorang bisa ditempatkan
pada tempat ketiga yaitu dengan menyamar, Syamsul Bahri Imerupakan salah satu
contoh yang dapat dilihat. Syamsul jika dilihat dari kejauhan terlihat seperti
orang Belanda tetapi ketika melihatnya dari dekat ternyata dia orang Melayu.
Colonial Modernity in Sitti
Noerbaja
Novel Indonesia pertama adalah Sitti Noerbaja, salah satu hasil karya Bahasa Melayu asli yang
dipublikasikan oleh pemerintahan kolonial Balai Poestaka. Rumah percetakan itu
berdiri pada tahun 1917 untuk menyediakan bahan bacaan yang tepat seiring
jumlah pertumbuhan dari masyarakat Melayu yang berpendidikan. Penulis dari
novel Sitti Noerbaja adalah Marah
Roesli yang pada saat novelnya dipublikasikan dia sudah menjadi seorang sarjana
lulusan dari fakultas kedokteran hewan di Buitenzorg (Bogor), Jawa Barat.
Sejalan dengan sejarah, novel selalu menjadi hal penting
dan resmi di sastra Indonesia dalam menulis sejarah dan kritik yang terjadi. Kritik
yang ada didalam sastra Indonesia itu merupakan monument atau sebagai tempat
untuk perjuangan pemikiran anak muda melawan pembatasan atau larangan yang
membebani mereka dengan ketertinggalan zamannya permintaan dari tradisi sosial
dan hukum adat mengenai pengaturan pernikahan dan poligami.
Penulis novel Sitti
Noerbaja telah berhasil mengadaptsi genre
melodrama yang sentimental sebagai dasar dari jenis cerita modern Hindia
Melayu. Pada bagian awal, secara sekilas tokoh Syamsul Bahri merupakan seorang
protagonis jika dikaitkan dengan hubungan penjajah atau yang dijajah.
Dapat dilihat dalam novel Siti Noerbaja ini terdapat dua yang mempunyai nilai Barat jika
dilihat dari kutipan novelnya bahwa Syamsul Bahri mempunyai masa depan yang
bagus yaitu akan menjadi seorang dokter. Dalam novel itu mereka mengadakan
sebuah pesta dengan menyajikan makanan-makanan ala Eropa. Semua hal itu adalah
cirri-ciri modernitas yaitu dengan adanya harapan kepada masa depan, gaya hidup
yang seperti orang Barat, secara tidak sadar mereka telah meniru budaya kolonial.
Kemudian hal-hal yang modernity pada saat pesta itu
dibandingkan dengan deskripsi rumah salah satu tokoh didalam novel yang bernama
Datuk Maringgih. Dilihat dari kutipan novel, pada serambi rumah Datuk Maringgih
hanya terdapat lampu gantung yang sudah usang dan dibawah lampunya terdapat
meja bundar tua yang dikelilingi empat kursi kayu tua. Selain itu diruang
tengah terdapat sebuah meja makan yang diperkirakan umurnya sudah setengah
abad. Dapat dipahami dari kutipan novel itu bahwa rumah Datuk Maringgih
memperlihatkan bahwa Datuk Maringgih berada di posisi yang dijajah sementara
pesta yang diadakan Syamsul Bahri dan Siti Nurbaya berada di posisi yang
menjajah.
Selain itu pada novel, Siti Nurbaya digambarkan sebagai
wanita yang bebas menikmati malam bersama kekasihnya Syamsul Bahri, ini
merupakan konsep kolonial atau nilai modernitas. Tetapi ada momen dimana
peniruan yang dilakukan Siti Nurbaya tidak sepenuhnya murni lagi yaitu pada
saat Siti Nurbaya membayangkan masa depan untuk anaknya kelak. Ini sudah tidak
sesuai lagi dengan nilai kebebasan di Barat yang dimana biasanya di Barat anak
dapat menentukan masa depannya sendiri. Menurut Siti Nurbaya kebebasa bukanlah
hal yang mutlak harus ditiru tetapi terdapat beberapa hal yang harus dikritik.
Bagaimanapun juga dalam novel ini juga menunjukkan
adanya ambiguitas bahwa yang bersifat tradisional yaitu Datuk Maringgih yang
pada akhirnya melawan penjajah bukannya Syamsul Bahri yang bersifat modern.
Sementara Syamsul yang bersifat modern pada akhirnya menjadi bagian dari
penjajah.
Cerita yang digambarkan didalam novel ini ternyata
merupakan gambaran kehidupan penulis novelnya yaitu Marah Roesli. Marah Roesli
dipaksa menikah oleh wanita pilihan orang tuanya setelah dia lulus dari
universitas di Bogor itu. Tetapi Marah Roesli kabur dan menikah dengan wanita
Sunda, karena dia ingin lepas seutuhnya dari budaya Minang.
Pada kehidupa nyata, fase awal dari pembentukan pemuda
Indonesia baru yang intelek dari tradisional menjadi modern bukanlah sesuatu
proses mimicry yang gagal tetapi itu
merupakan langkah awalnya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar