Rabu, 12 Oktober 2016

Dissolving into the elsewhere Mimicry and ambivalence in Marah Roesli’s ‘Sitti Noerbaja’




Dissolving into the elsewhere Mimicry and ambivalence in Marah Roesli’s ‘Sitti Noerbaja’

Loyal Mimicry adalah sesuatu kegiatan yang benar-benar meniru keseluruhan hal dari penjajah. Tetapi di sisi lain terdapat proses meniru yang dapat menghancurkan budaya penjajah itu sendiri. Maksud disini ialah semua hal dari segi opini, moral, meniru kolonial tetapi bukan maksud meniru secara utuh tetapi justru untuk dihancurkan. Jadi dapat disimpulkan meniru bisa menjadi suatu hal berbeda tergantung subjeknya.
Menurut Bhabha, mimicry atau meniru adalah semacam tiruan pada lingkungan penjajah dari sudut pandang subjektif orang Eropa yang tidak lagi murni. Bagi kedua pihak, baik itu penjajah maupun yang dijajah, kegiatan peniruan ini merupakan hasil dari ambiguitas dan hasil dari sesuatu hal yang bertentangan.
Kemudian pada Novel Siti Noerbaja ingin melihat apakah novel ini menerima peniruan atau Loyal mimicry atau malah menjadi pihak yang menghancurkan sifat peniruan yang asli itu. Bhabha mengatakan ketika seseorang bisa ditempatkan pada tempat ketiga yaitu dengan menyamar, Syamsul Bahri Imerupakan salah satu contoh yang dapat dilihat. Syamsul jika dilihat dari kejauhan terlihat seperti orang Belanda tetapi ketika melihatnya dari dekat ternyata dia orang Melayu.

Colonial Modernity in Sitti Noerbaja
Novel Indonesia pertama adalah Sitti Noerbaja, salah satu hasil karya Bahasa Melayu asli yang dipublikasikan oleh pemerintahan kolonial Balai Poestaka. Rumah percetakan itu berdiri pada tahun 1917 untuk menyediakan bahan bacaan yang tepat seiring jumlah pertumbuhan dari masyarakat Melayu yang berpendidikan. Penulis dari novel Sitti Noerbaja adalah Marah Roesli yang pada saat novelnya dipublikasikan dia sudah menjadi seorang sarjana lulusan dari fakultas kedokteran hewan di Buitenzorg (Bogor), Jawa Barat.
Sejalan dengan sejarah, novel selalu menjadi hal penting dan resmi di sastra Indonesia dalam menulis sejarah dan kritik yang terjadi. Kritik yang ada didalam sastra Indonesia itu merupakan monument atau sebagai tempat untuk perjuangan pemikiran anak muda melawan pembatasan atau larangan yang membebani mereka dengan ketertinggalan zamannya permintaan dari tradisi sosial dan hukum adat mengenai pengaturan pernikahan dan poligami.
Penulis novel Sitti Noerbaja telah berhasil mengadaptsi genre melodrama yang sentimental sebagai dasar dari jenis cerita modern Hindia Melayu. Pada bagian awal, secara sekilas tokoh Syamsul Bahri merupakan seorang protagonis jika dikaitkan dengan hubungan penjajah atau yang dijajah.
Dapat dilihat dalam novel Siti Noerbaja ini terdapat dua yang mempunyai nilai Barat jika dilihat dari kutipan novelnya bahwa Syamsul Bahri mempunyai masa depan yang bagus yaitu akan menjadi seorang dokter. Dalam novel itu mereka mengadakan sebuah pesta dengan menyajikan makanan-makanan ala Eropa. Semua hal itu adalah cirri-ciri modernitas yaitu dengan adanya harapan kepada masa depan, gaya hidup yang seperti orang Barat, secara tidak sadar mereka telah meniru budaya kolonial.
Kemudian hal-hal yang modernity pada saat pesta itu dibandingkan dengan deskripsi rumah salah satu tokoh didalam novel yang bernama Datuk Maringgih. Dilihat dari kutipan novel, pada serambi rumah Datuk Maringgih hanya terdapat lampu gantung yang sudah usang dan dibawah lampunya terdapat meja bundar tua yang dikelilingi empat kursi kayu tua. Selain itu diruang tengah terdapat sebuah meja makan yang diperkirakan umurnya sudah setengah abad. Dapat dipahami dari kutipan novel itu bahwa rumah Datuk Maringgih memperlihatkan bahwa Datuk Maringgih berada di posisi yang dijajah sementara pesta yang diadakan Syamsul Bahri dan Siti Nurbaya berada di posisi yang menjajah.
Selain itu pada novel, Siti Nurbaya digambarkan sebagai wanita yang bebas menikmati malam bersama kekasihnya Syamsul Bahri, ini merupakan konsep kolonial atau nilai modernitas. Tetapi ada momen dimana peniruan yang dilakukan Siti Nurbaya tidak sepenuhnya murni lagi yaitu pada saat Siti Nurbaya membayangkan masa depan untuk anaknya kelak. Ini sudah tidak sesuai lagi dengan nilai kebebasan di Barat yang dimana biasanya di Barat anak dapat menentukan masa depannya sendiri. Menurut Siti Nurbaya kebebasa bukanlah hal yang mutlak harus ditiru tetapi terdapat beberapa hal yang harus dikritik.
Bagaimanapun juga dalam novel ini juga menunjukkan adanya ambiguitas bahwa yang bersifat tradisional yaitu Datuk Maringgih yang pada akhirnya melawan penjajah bukannya Syamsul Bahri yang bersifat modern. Sementara Syamsul yang bersifat modern pada akhirnya menjadi bagian dari penjajah.
Cerita yang digambarkan didalam novel ini ternyata merupakan gambaran kehidupan penulis novelnya yaitu Marah Roesli. Marah Roesli dipaksa menikah oleh wanita pilihan orang tuanya setelah dia lulus dari universitas di Bogor itu. Tetapi Marah Roesli kabur dan menikah dengan wanita Sunda, karena dia ingin lepas seutuhnya dari budaya Minang.
Pada kehidupa nyata, fase awal dari pembentukan pemuda Indonesia baru yang intelek dari tradisional menjadi modern bukanlah sesuatu proses mimicry yang gagal tetapi itu merupakan langkah awalnya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar